Kamis, Desember 10, 2009

Smoking Room Prof...

Sudah menjadi kebiasaan bahwa di kampus selalu ada pertentangan antara generasi tua dengan yang muda. Contohnya, mahasiswa tua dan abadi pasti merasa jadi senior, lebih jago dan harus dihormati. Mereka umumnya bersikap merendahkan yang muda dalam segala hal. Begitu pula dengan dosen dan para profesor. Profesor tua cenderung menganggap remeh profesor muda. Umumnya, alasan mereka adalah klasik juga. Mereka merasa lebih senior dan mengatakan bahwa para profesor muda tidak punya ilmu yang mumpuni dan terlalu mudah untuk mendapatkan gelar profesor. Susahnya, pertentangan semacam ini sudah mendarah daging. Yang tua tidak mau mengalah dan yang muda enggan menyerah. Susahnya lagi, pertentangan semacam ini ikut terbawa dalam masalah sepele dan terkadang menyebabkan terjadinya perang dingin.

Namun ternyata yang muda memang jauh lebih pintar, meskipun idealismenya juga fleksibel menyesuaikan keadaan. Misalnya pada urusan dengan jual-beli nilai yang kadang mereka halalkan. Hal semacam itu ternyata jadi kebiasaan di kalangan profesor muda yang menurut profesor tua melanggar kode etik dan profesionalisme. Padahal, kalau terlalu strict pun malah akhirnya membawa masalah juga, mahasiswa jadi kabur semua. Jadi, buah simalakama akhirnya. Karena umumnya jiwa mudanya masih hidup, terkadang mereka juga melakukan hal yang aneh-aneh termasuk ber-komplot untuk mengerjai para pendahulunya.

Dikabarkan bahwa di ruang dosen bahwa kini tidak diperkenankan lagi dipergunakan untuk merokok. Aturan ini baru kemarin di-launch dan ditandai dengan ditempelnya pengumuman di dinding. Tapi ini merupakan kesempatan yang bisa dipergunakan untuk mengerjai para profesor tua, yakni dengan cara tulisan NO pada tanda ditutup dengan lakban untuk mengelabui mata profesor yang rata-rata sudah kurang terang. Ketika seorang profesor tua masuk ke ruangan dan dilihatnya beberapa dosen muda sedang enak-enakan menghisap rokok, sang profesor mendadak merasa punya kesempatan untuk melakukan intervensi. Melihat keadaan tersebut sang profesor menghardik.

“Heh, nggak liat kamu itu ada tanda apa?!” tanya profesor yang sudah sangat tua itu. Keras.

“Oh, sori Prof tandanya kan sudah diganti jadi Smoking Room tadi pagi..” sahut seorang profesor muda.

“Masa?”

“Lah itu liat sendiri,” jawab yang lain.

Namun si profesor tua tidak kalah pintar. Hal semacam ini sih kecil…

“Oh, jadi usulan saya akhirnya dikabulkan juga,” kata sang profesor tua.

“Uhuk..,” seorang profesor muda terbatuk.. [ ]

Yang Curang Akan di-Blacklist

Masih, dalam rangka suasana ujian yang ternyata membawa banyak masalah, dikabarkan dari ruang pengawas ujian. Seperti biasa brifing pengawas dilakukan setengah jam sebelum ujian dimulai, dengan tujuan menyatukan pendapat dan penyatuan komitmen pengawas ujian -yang rata-rata mahasiswa juga- untuk tidak toleransi dengan tindak kecurangan selama ujian apapun bentuknya. Setelah semua pengawas mengambil tempat duduk, seorang dosen yang berperan sebagai koordinator ujian berdiri memberikan pengarahan.

“Baiklah, seperti biasa tidak usah terlalu lama, intinya saya ingin tidak ada tindak kecurangan dalam ujian kali ini”, katanya dengan suara lantang. Semua pengawas diam mendengarkan.

“Lalu, saya ingin kalian tidak melakukan tindakan yang memalukan apapun itu bentuknya”, lanjutnya kemudian.

“Ada pertanyaan atau pernyataan?” tanya koordinator ujian.

Mendadak terjadi kasak-kusuk…

“Pasti pak tenang aja, kami juga bisa profesional kok..” seorang pengawas yang pemberani menyahut.

“Bagus, ada yang lain?” tanya koordinator.

“Ya pak, kami kan juga tahu kapan menempatkan diri sebagai teman ataupun sebagai pengawas”, sahut pengawas yang lain unjuk bicara.

“Betul Pak, kami juga tahu kapan harus toleran dan setia kawan”, kali ini ganti pengawas senior ikut bicara.

“Intinya Bapak tidak perlu khawatir. Kami kan kira-kira juga Pak, masa Bapak tidak percaya sih?” sahut yang lain lagi.

“Betul itu..” Suasana mendadak ribut.

“Ya..ya.., yang penting jangan sampai ngawur ya.. saya percaya dengan kalian kok” sahut koordinator menenangkan suasana.

“Baiklah, kalau tidak ada yang ingin ditanyakan silakan ke kelas masing-masing…”

“Sebentar Pak, tapi konsekuensinya apa kalau kami sampai curang?” tiba-tiba seorang mahasiswi bertanya serius.

“Ehm, ya.. saya umumkan bahwa nanti kalian akan di-blacklist. Kemudian honor kalian akan kami tarik kembali dan harus ada pernyataan resmi bahwa kalian merasa bersalah.. kalau tidak.. nilai ujian kalian terancam.”

Suasana mendadak senyap.

“Wah, ada aturan baru ya..” bisik seseorang kepada teman di sebelah. [ ]

Hidup Untuk UTS, UTS Untuk Hidup

Dikabarkan dari sudut kampus, tepat sehari setelah para mahasiswa selesai melaksanakan ujian. Gara-gara kemarin libur sehari yang dialokasikan untuk pemilu, maka otomatis UTS juga mundur sehari. Dus, banyak sikap yang muncul dari kebijakan ini. Yang pertama, dosen banyak yang tidak terima dengan libur mendadak ini, dan menyatakan ingin melaksanakan jadwal pengganti. Dosen semacam ini termasuk yang idealis, perfeksionis dan tentu saja “sepuh”. Mereka beralasan libur itu tidak beralasan dan menghambat kemajuan pemelajaran. Yang kedua, tenang-tenang saja dan tidak berniat memanfaatkan jadwal pengganti. Umumnya mereka dari kalangan dosen muda yang masih semangat untuk “ngobyek” di tempat lain. Dan, liburan dimanfaatkan mereka untuk cari duit. Mereka cenderung tidak suka dengan jadwal pengganti karena akan menghambat kreatifitas dan performansi mereka secara ekonomi. Mahasiswa? jelas netral! terserah mau ganti atau nggak yang penting kuliah lancarrrr.. dan lulus cepat, kan begitu?

Terlepas dari kesemuanya itu, pak Rektor punya cerita lain.
Sehabis ujian biasanya ada rapat rutin pak Rektor beserta dekan-dekan, dosen-dosen, dan para karyawan kampus. Rapat semacam itu biasanya digunakan untuk evaluasi kemampuan mahasiswa, apakah masih bawah treshold memalukan atau sudah lebih cerdas dari dosennya, dan biasanya yang semacam ini harus dicatat untuk diajukan beasiswa sehingga citra kampus terangkat. Namun sayang, agaknya kali ini hasil menunjukkan statement yang pertama. Setelah pembukaan yang mengesankan, akhirnya pak Rektor berkata.

“Bapak-bapak, Ibu-ibu silakan melaporkan hasil UTS mahasiswa kemarin,” begitu kata Pak Rektor

“Pak Rektor..” kata salah seorang dekan fakultas.

“Ya, silakan”

“Dari jurusan pertanian mengecewakan Pak, kami rasa hanya lima dari seratus orang yang kami nyatakan pantas ikut UAS,” sahutnya.

“Kenapa begitu?” tanya Pak Rektor.

“Semua payah, padahal grade soal sudah kami turunkan ini pun ikut UAS atau tidak tetap E, lucunya alasan mereka aneh, kuliah atau tidak tetap memungkinkan untuk cari duit.. begitu katanya..”

“Yang lain?” pinta pak Rektor tenang.

“Biologi kacau Pak..” seorang dosen berkata.

“Ya?”

“Sudah sejak semester lalu saya berniat tidak luluskan mereka semua,” lanjutnya.

“Kenapa itu?”

“Dari awal saja mereka memang sudah tidak niat, saya jadi bingung! karena yang ada di pikiran mereka cuma masalah ekonomi saja.. cari duit saja”

“Mm.. begitu ya, ada lagi?”

“Matematika memalukan sekali Pak, sepertinya ada yang salah dengan otak mereka itu..” seorang dosen muda setengah botak ganti bercakap.

“Memang apa masalahnya?” tanya pak rektor.

“Entah, dari sekian banyak mahasiswa ternyata cuma sedikit yang memang berminat dengan bidang ini.. yang lain malah sudah punya rencana setelah lulus mau buka warung, bagaimana ini..?”

“Bahasa Inggris Hancur Pak,” tiba-tiba seorang dosen berteriak.

“Elektro Lebur Pak,” dosen yang lain ikut-ikutan panas.

“Fisika apa lagi.. Pak Luluh lantak!!!” seorang dosen berdiri, lalu berteriak sambil menggebrak meja.

“Kimia…” kata…

“Oh begitu.. ya2 terima kasih..” tapi tidak jadi, buru-buru dipotong oleh pak Rektor.

“Ho..ho..ho.. tidak masalah, Bapak-bapak.. kan UTS ini tidak ada hubungannya dengan kehidupan, toh ikut UTS dan tidak tetap bisa hidup kan? Kita juga harus maklum Pak, mereka masih harus melalui ujian yang sebenarnya setelah ini, kan begitu?”

Semua terdiam..

Serba Absurd Bu...

Dari ruang konseling kampus dikabarkan, bahwa minggu-minggu akhir ini tengah mendapat banyak sekali kunjungan mahasiswa. Mereka, para mahasiswa itu, umumnya datang karena mengharapkan petuah dari psikolog yang memang sengaja disediakan untuk mereka. Karenanya, mereka datang membawa “masalah”. Rata-rata motifnya berbeda namun secara umum tidak jauh-jauh dari permasalahan akademik. Beberapa ada yang kesulitan di kelas dengan mata kuliah tertentu. Yang lain ada juga yang bingung dengan kondisi kelas yang ramai, ada juga yang bingung malah karena tengah terlibat affair dengan dosen?! Singkatnya, daripada “gila” sendiri mending bagi-bagi kegilaan tersebut dengan orang lain…

Melihat fenomena demikian para analis kampus memberikan pendapatnya dalam suatu diskusi seru. Dalam acara tersebut hadir pak Rektor, Wakil I, dan beberapa petinggi rektorat. Turut hadir pula ketua yayasan yang kami hormati beserta jajaran dan karyawan. Kalau dilihat-lihat, sebenarnya itu bukan acara resmi. Yang mengadakan adalah bagian konsumsi kampus, alias dengan kata lain ini sebenarnya acara paska makan siang.

Terlihat atau tidak, penyelenggaraan program konseling ternyata menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda. Ada sebagian orang yang menyatakan bahwa program tersebut diarahkan untuk menjamin akreditasi kampus. Yang lain berpendapat bahwa itu untuk menyehatkan kampus dan warganya, jadi apabila ingin kampusnya sehat maka penghuninya harus sehat juga. Ada juga yang menyatakan bahwa ini untuk meningkatkan prestasi mahasiswa yang belakangan ini tengah menurun, sehingga tujuannya untuk meningkatkan semangat belajar. Namun, apapun itu bagian konseling mempunyai alasan tersendiri dengan tetap mempertahankan kode etik psikologi. Apa itu? yakni mencoba mencari penyelesaian masalah individu dengan kaidah-kaidah ilmu kejiwaan yang umum. Intinya tetap mulia, yakni untuk membantu meringankan beban masalah mahasiswa.

Diskusi pun berlangsung…

“Pak Rektor, belakangan ini ruang konseling ramai..” kata salah seorang kru konseling.

“Oh ya, kira-kira kenapa ya Bu?” tanya pak Rektor antusias.

“Rata-rata mereka mengalami permasalahan akademik Pak, jadi kami rasa hal itu sudah umum” jawabnya. “Rata-rata tidak ada yang istimewa, kecuali…”

“Tapi sebentar dulu Bu,” seorang dekan memotong untuk memberi pendapatnya.

“Kalau mendadak ramai sih ini menurut saya bukan urusan umum lagi,” lanjutnya.

“Bagaimana menurut pak Wahyu?” tanya pak Rektor pada nya.

“Bisa jadi ada fenomena yang kita tidak ketahui Pak. Mungkin adanya tren atau peristiwa baru di kampus. Atau mungkin memang kondisi lingkungan kos yang berubah,” jawab Pak Dekan mantap.

“Sebetulnya memang banyak alasan,” seorang Dosen memberikan pendapatnya.

“Tapi kalau melihat alasan Bu Indri, saya pikir itu ekses dari UTS kemarin ya..”

“Bisa jadi juga Pak.. ha..ha..ha..,” Pak Dekan menimpali sambil terkekeh.

“Bapak-bapak, sebenarnya ada yang ingin saya sampaikan tadi..” Bu Indri menyela. Berniat meneruskan kata-kata nya yang sempat terpotong tadi.

“Saya katakan tadi tidak ada yang istimewa kecuali seorang Mahasiswa ini Pak, terus terang saya tidak bisa memberikan jawaban kemarin. Kemudian saya janjikan besok kepadanya, nah mungkin pak Rektor dan Bapak-bapak sekalian bisa membantu kami.” lanjutnya.

Suasana hening sejenak.

“Sampaikan saja Bu..”

“Ya..ya..”

“Silakan bu Indri..” Kata Pak Rektor kemudian.

Bu Indri menghela nafas.

“Ia mengatakan bahwa tiap harinya harus menyiapkan satu alasan untuk tetap berangkat ke kampus Pak. Katanya, sebetulnya Ia merasakan bahwa Kampus sudah tidak lagi menjanjikan secara ekonomi. Itu membuatnya tidak berminat lagi untuk kuliah. Kemudian yang membuatnya tetap duduk selama berjam-jam adalah alasan yang ia buat pada hari itu. Yang membuat saya heran, apabila ia tidak menemukan alasan, ia lebih suka keluar kampus untuk menambah penghasilan.”

“Lha, masalahnya apa Bu?”

“Iya Pak saya bingung, mau bilang itu tidak baik saya pikir tidak juga. Tapi kalau saya mendukung dia nanti malah saya yang disalahkan karena membuatnya sering bolos..”

“Ada saran Pak..?” tanya Bu Indri. [ ]

Makin Banyak Makin Lemot...

SKS (Satuan Kredit Semester) adalah nominal yang biasa digunakan untuk menyatakan besarnya suatu mata kuliah. Besarnya SKS ini termasuk juga berapa jam mata kuliah tersebut nantinya disampaikan serta bobot yang nantinya dipergunakan untuk menghitung Indeks Prestasi. Satu SKS dalam perkuliahan berarti satu jam (biasanya 50 menit) bertatap muka dengan dosen, satu jam untuk responsi, dan satu jam untuk mengerjakan tugas mandiri. Sehingga, mata kuliah ber-SKS tiga misalnya, membutuhkan tiga kali satu jam bertatap muka dengan dosen di kelas, tiga jam untuk responsi, dan seterusnya..

Permasalahannya sekarang begini, satu jam saja duduk di kelas mungkin saja bukan hal yang menyenangkan bagi sebagian orang. Orang-orang ini biasanya pekerja lapangan, suka pekerjaan riset nan menantang. Mereka jelas tidak bisa menerima jam lapangan mereka terabaikan gara-gara harus duduk di kelas sampai pantat dan otak panas. Namun ada juga yang ok..ok.. saja. Sebagian orang yang senang ini biasanya mengisinya dengan berbagai ceritera terpisah dari alur penyampaian dosen. Yang cuek biasanya tertidur, main sms, dst… Nah, sekarang bagaimana ceritanya kalau Mahasiswa diberi bobot SKS melebihi standar kemampuan? Bisa jadi tambah pintar namun tidak sedikit yang tambah lemot dan malah membangunkan jiwa pemberontaknya. Lucunya, alasan menambah SKS ini biasanya diiming-imingi dengan teorema lulus cepat. Tidak sedikit yang tertarik, bahkan tertipu.

Secara Ideal, mahasiswa seharusnya sudah diberi kebebasan untuk menentukan sebanyak apa ia ingin mempelajari suatu bidang. Sehingga, bukan langkah yang bijaksana mendikte mahasiswa untuk terus-menerus di kampus sepanjang hari dengan sebab beban SKS yang berlebih. Pasalnya menambah tiga SKS mata kuliah saja terkadang membutuhkan waktu sekitar empat jam pelajaran! Itupun belum mata kuliah yang lain-lain. Bisa jadi dari pagi sampai sore di kelas terus-terusan. Memang mahasiswa tugasnya hanya di kampus? kan tidak! Belajar kan tidak seharusnya dipersempit hanya ketika di kampus saja. Kreatifitas dan mental baja untuk menjadi manusia mutlak juga dipelajari. Untuk hal ini entah berapa banyak SKS yang mesti dialokasikan

Dikabarkan dari gedung rektorat bahwa telah terjadi diskusi yang cukup serius antara seorang karyawan bagian akademis dengan Bapak Rektor. Permasalahannya? banyaknya mahasiswa protes dengan kebijakan menaikkan jumlah beban SKS.

###

“Pak, kita mendapat berbagai pengaduan yang macam-macam..” seorang staf tanpa memperkenalkan diri langsung berkata pada Pak Rektor dan duduk di depannya.

“Oh ya? soal yang mana itu?” tanya Pak Rektor tenang.

“Soal kebijakan baru itu Pak, yang rencananya kita akan menambah jumlah beban SKS tiap semesternya.” jawabnya.

Pak Rektor diam sejenak, berpikir.

“Sudah saya duga masalah tersebut pasti akan berbuntut panjang. Saya saja belum tentu mau kalau dipaksa demikian.” jawab pak Rektor kemudian.

“Lalu bagaimana Pak?” tanya karyawan itu kemudian. “Kita floor-kan atau kita abort?”

“Mau saya sih di-cancel saja. Persoalan tersebut memang sudah di-SK kan tapi masih mungkin dicabut lagi kalau mau.” kata pak Rektor.

“Baiklah kalau begitu secepatnya akan saya cabut Pak Rektor.”

Sambil berkata demikian, karyawan tersebut langsung berdiri.

“Tunggu dulu.. Bapak sudah menghubungi ketua yayasan..?”

“Belum Pak. Memangnya perlu? bukannya ini urusan intern?”

“Lha iya, saya tadinya juga berpikir begitu. Kalau saya yang perintahkan ngeluarkan SK sih ok..ok.. saja, tapi Itu perintah dari atas lho.. saya juga nggak bisa apa-apa..”

Karyawan tersebut duduk kembali.

“Duh.. sepertinya makin lemot saja nanti mahasiswa kita Pak..” sahutnya dengan sedih. [ ]

Tabunya IP

Dari sudut kantin dikabarkan. Dua orang dosen bahasa inggris sedang terlibat pembicaraan yang sangat menarik. Khas, sesekali diselingi vocabulary asing. Saking menariknya sampai menarik orang lain di meja sebelah untuk diam dan mendengarkan pembicaraan mereka. Walaupun sambil makan, ternyata tidak mengurangi serunya diskusi siang tersebut.

Masalahnya ternyata sederhana. Ceritanya tentang dosen tersebut yang tadi pagi mewawancarai mahasiswa untuk menjadi asisten di laboratorium bahasa inggris kampus. Ternyata dosen ini termasuk orang yang keterlaluan perfeksionis, dengan mengandalkan kaidah-kaidah baku penyaringan superketat sewaktu wawancara. Namun, ternyata karena saking ketatnya malah memunggunggi kepentingan lain dan keluar dari batas-batas kewajaran. Singkatnya berikut transkrip pembicaraan mereka:

“Begini bu, this morning saya wawancara sama student. As usual firstly i ask about his CV.”

“Jawabannya?” tanya dosen kedua.

“Absolutely Good Bu, tapi saya nggak terlalu peduli soal itu. Yah cuma untuk formalitas saja agar sesuai kaidah. As an act to be formal” jawab dosen tadi.

“Terus” tanya dosen itu lagi.

“Saya tanya lagi tentang motivasinya”

“Jawabannya?”

“Lancar juga, his english is pretty nice. bagus”

“Skor TOEFL bagaimana?” tanya dosen satunya. Ia mulai tertarik.

“Bagus juga sih hampir enam ratus. Nggak ada masalah dengan hal tersebut..”

“Terus kamu approve dong?”

“Nggak juga”

“Why not?!” dosen satunya bertanya keheranan. Sambil Ia meletakkan sendok dan garpunya.

“Ketika saya tanya soal IP eh.. mahasiswa tadi celingukan. Kasihan banget gitu Bu. Tapi dia jujur juga IP nya kurang dari tiga dan terus menurun..”

“Jadi di reject?” tanyanya lagi.

“Of Course.. itu mahasiswa nggak perfect dong?” jawabnya dengan nada protes.

“Just wait the minutes. Setahu saya tidak ada tuh syarat IP dalam brosur” dosen tadi berusaha memastikan.

“Memang tidak ada sih tapi kan…”

“Oww, i see. You’ve made a mistake, Dear. Lah kan tidak anda syaratkan, koq malah anda tanyakan.. itu bagaimana maksudnya?” Tanya dosen itu bingung.

“Membicarakan IP kan hal yang taboo!” tutup dosen itu. []

Belajar Mengajar

Dikabarkan dari sebuah kelas ketika seorang dosen tengah berada di kelas. Teori mengatakan bahwa inti dari sebuah public speaking terletak pada pembukaan, yakni lima menit pertama dari keseluruhan presentasi. Setelah lima menit pertama ini pendengar biasanya terbagi dalam dua kondisi. Semakin ingin mendengar atau malah semakin ingin pergi, tergantung bagaimana kita menarik audiens tadi. Dan hal Ini tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan pada kuliah di kelas yang notabene presentasi juga.

Sungguh sayang, banyak dosen yang tidak memperhatikan hal ini. Mereka merasa bahwa seni berbicara dan mengundang audiens hanya cocok untuk acara-acara entertainment murahan. Dus, tidak pernah ada yang memberikan motivasi pra kuliah yang sesungguhnya sangat penting. Namun dosen dengan kualitas pembicaraan yang enak, good looking dan pengertian tentunya bukan tidak ada lagi.

Seorang dosen membuka pintu kelas, meletakkan tas dan laptopnya kemudian berdiri tegak di depan kelas.

“Masih pagi, dan sangat tidak pantas untuk mengantuk pada pagi hari ini,” Begitulah, dosen tadi membuka pertemuan pagi itu seraya tersenyum pada peserta kuliah.

“Silakan dipersiapkan kuliah untuk pagi hari ini. Well.. kita akan mencoba berdiskusi tentang bla..bla..bla” lanjutnya kemudian.

“Kaitannya dengan apa yang kita bahas kemarin, sebetulnya ini adalah sebuah elaborasi alias perpanjangan dan penjabaran. Jadi, sangat baik apabila kalian telah mempelajari dan paham dengan benar apa yang saya sampaikan sebelumnya” katanya memberikan pengantar.

“Saya mengundang barangkali ada yang perlu didiskusikan mengenai materi sebelumnya, dan kita tidak akan maju sebelum semuanya paham dan mengerti benar.” ia berusaha mengingatkan dengan mengundang pertanyaan.

Tapi, tidak ada respon…

“Ada?” sahutnya sekali lagi.

Kembali tidak ada respon.

“Ok, kalau begitu saya lanjutkan saja. Jadi intinya ketika kita sudah bla..bla..bla.. maka akhirnya ada variabel yang dinamakan anu. Dengan sedikit transformasi kita ubah anu ini menjadi itu. Terapkan persamaan sekian-sekian, kemudian kita coba buktikan dengan teorema bla..bla..bla.. Hasilnya kita dapatkan hipotesa yang sesuai..” terang dosen tersebut panjang lebar.

“Dari penelitian yang saya lakukan, anu tadi ternyata memiliki karakteristik begini begitu. Sehingga untuk menerapkannya dibutuhkan tambahan faktor x yang bisa kita dapatkan di ini itu..”

“Dan kita harus..”

“Cukup!! sangat bagus” sebuah suara mendadak menginterupsi.

“Baiklah Pak Anwar Anda bisa mulai mengajar minggu ini, untuk administrasi bisa diselesaikan di rektorat.” lanjutnya kemudian.

“Bagaimana menurut Bapak yang tadi saya praktikkan..” tanya Pak Anwar.

“Yah, bercitarasa dan ideal.. namun saya ragu hal tersebut bisa dilaksanakan se-ideal mungkin.” jawab suara tersebut seraya menggeleng.

“Anda baru pulang dari luar negeri, dan saya pikir perlu pembiasaan dengan kondisi di sini.” lanjutnya.

Pak Anwar mengernyitkan dahi. Berpikir sebentar.

“Oh saya mengerti dengan maksud Bapak. Sebenarnya apa yang saya lakukan tadi hanyalah standar pembawaan yang harus ditaati oleh setiap dosen di kampus saya dulu.” katanya.

“Well, tidak ada salahnya untuk dicoba Pak Anwar.”[]

Jumat, Juli 31, 2009

Watch out!! Segera Tukarkan Poin Anda

"Dari sudut kampus dikabarkan, bahwasanya hari ini adalah hari terakhir input poin TAK (Transkrip Aktivitas Kemahasiswaan-semacam tanda penilaian bahwa ia aktif) melalui intranet. Kampus geger! nyali mahasiswa mulai bergeser. Input dan aktivasi dilakukan secara berbondong, sehingga membuat jaringan down. Tetapi ternyata sistem ini masih saja menimbulkan banyak kesulitan, bagi manajemen dan tentu bagi mahasiswa pula.

Surat edaran dari Badan Kemahasiswaan jelas. "Barangsiapa tidak input alias mendaftarkan aktivitas ekstrakurikulernya satu tahun kebelakang hingga hari ini, maka barang bukti akan hangus! alias tidak diakui." Mendengar ini mahasiswa mulai mencari-cari berbagai sertifikat yang pernah didapatkan, atau sekadar mengingat aktivitas apa saja yang pernah dilakukan, selanjutnya menjejali warnet hingga sikut teman sekitar kontrakan demi meminjam koneksi internet tengah malam, kemudian menukar keaktifan menjadi (hanya) poin kuantitas.

Menurut peraturan, lewatnya seseorang dari batas bawah TAK yang diberlakukan menyebabkan mahasiswa tidak dapat mengikuti wisuda. Dan, di sini tonggak mula masalah terjadi. Kenyataannya toh wisuda tidaklah diwajibkan. Apalagi wisuda memang memerlukan biaya dan waktu juga. Namun, masih banyak pula mahasiswa yang tidak ngeh dengan persoalan ini. Mereka masih berpikir, kuliah tanpa wisuda berarti tidak akan lulus atau malah kuliah tanpa wisuda sama saja tidak dianggap kuliah. Well.. Salah Kaprah!

***

Esoknya di kantor Badan Kemahasiswaan..

"Nggak nyangka Pak Yun, gara-gara TAK tadi pagi saya dengar keluhan dari bagian teknik. Kata mereka hari ini server crash." kata Bu An direktur kemahasiswaan.

"Jelas saja Bu.. Mahasiswa kan suka kebut-kebutan, yah begitu jadinya. Tapi berarti program TAK kita berhasil itu.. dan pak Rektor pasti senang." pak Yun, seorang staf yang ia ajak bicara, menimpali.

"Betul Pak, terlepas dari berbagai polemik yang ada. Saya cukup puas dengan hal itu." kata Bu An setuju.

"Tapi saya ragu Bu.. metode validasi TAK yang kita terapkan tidak mungkin dilakukan." , kata Pak Yun.

"Memang tidak perlu dilakukan Pak, saya pun nggak mau kerepotan nantinya dengan 4000 record, biarkan saja yang penting data sudah masuk." Bu An menimpali, kemudian ia menuju kembali ke meja nya.

"Wah, kalau saja mahasiswa tau akan hal ini pasti mereka nggak akan ribut-ribut ya Bu..?", ia berujar.

Bu An tersenyum.

"Inget lho Pak Yun, cuma bapak dan saya yang tau hal ini." katanya.


++++++

 
taufik personal insight Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template