Kamis, November 21, 2013

Misi Perguruan Tinggi

Ditulis Oleh: Hendra Gunawan*
teks asli: http://personal.fmipa.itb.ac.id/hgunawan/files/2013/10/Misi-Perguruan-Tinggi.pdf

Setelah 68 tahun merdeka, kualitas kinerja dan capaian perguruan tinggi kita justru dipertanyakan banyak orang. Bahkan, Transparency International melaporkan bahwa sistem pendidikan (tinggi) di Indonesia diwarnai korupsi yang parah (Chris Parr, Times Higher Education, 4 Oktober 2013). Kita bisa saja melacak di mana kesalahan bermula, yang telah menyebabkan perguruan tinggi kita karut‐marut seperti saat ini. Namun, daripada mencari siapa yang salah, barangkali lebih baik menengok kembali apa yang semula dicita‐citakan oleh para pendiri bangsa dengan perguruan tinggi kita.

Cita‐cita Pendiri Bangsa
Dalam “Sedjarah Pendidikan Indonesia” (S. Bradjanegara, 1956) dicatat bahwa pada tanggal 4‐6 April 1947, ketika Pemerintah Pusat RI mengungsi ke Yogyakarta, Pengurus “Permusjawaratan Pendidikan Indonesia” mengadakan Kongres di Surakarta untuk mengumpulkan berbagai pendapat mengenai sistem pendidikan nasional, khususnya mengenai azas dan tujuan pendidikan. (Kongres tersebut dipimpin oleh Prof. Mr. Soenaria Kalapaking dan dibantu oleh Sutedja Bradjanegara sebagai notulis. Hadir pada Konggres tersebut antara lain Presiden Soekarno, Dr. Radjiman, Prof. Dr. Sardjita, Prof. Mr. Dr. Soepomo, Mr. Wongsonegoro, Drs. A. Sigit, Dr. Wedyodiningrat, dan Ki Hadjar Dewantara.).

Dalam makalahnya yang berjudul “Sekolah Perguruan Tinggi”, Soepomo menyampaikan bahwa fungsi universitas (perguruan tinggi) di Indonesia akan sama dengan fungsi universitas di negara - negara moderen di Eropa dan Amerika, yaitu sebagai: (a) badan pusat ilmu‐ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan (b) badan untuk mendidik para calon pemimpin yang memerlukan pendidikan tinggi guna kepentingan masyarakat dan Negara. Menurut Soepomo, universitas sebagai badan pusat ilmu‐ilmu pengetahuan dan kebudayaan akan mempelajari ilmu‐ilmu pengetahuan untuk kepentingan ilmu‐ilmu itu sendiri (beoefening der wetenschap zelve).

Sehubungan dengan itu, Negara harus menjamin kemerdekaan untuk penyelidikan pengetahuan (baca: penelitian). Selain itu, universitas harus (a) memberikan kesempatan seluas‐luasnya kepada para guru besar dan staf lainnya (wetenschappelijke staf) untuk mengembangkan ilmu‐ilmu pengetahuan dengan menyediakan sesempurna‐sempurnanya perpustakaan, laboratoria, musea, klinik, dan lain‐lain; (b) mengadakan hubungan dengan berbagai universitas lain, baik di dalam maupun di luar negeri melalui kongres antar universitas, pertukaran guru besar untuk sementara waktu, dan lain‐lain; dan (c) mengadakan pidato‐pidato untuk umum sebagai salah satu bentuk university extension.

Soepomo melanjutkan bahwa universitas sebagai “opleidingsinstituut” akan (a) memberikan pendidikan pengetahuan dasar untuk mahasiswa dari fakultas manapun, agar mereka mendapatkan “academische levensstijl’, yakni mempunyai kecerdasan jiwa, budi, dan intelek yang diperlukan untuk jabatan‐jabatan tinggi di tengah masyarakat, dan (b) memberikan persiapan untuk mengerjakan “vak” atau bidang keahlian tertentu (misalnya sebagai ahli hukum, dokter, insinyur, dan lain‐lain). Dalam pembagian universitas atas beberapa fakultas, Soepomo mengingatkan agar universitas memperhatikan perkembangan di negara‐negara Eropa dan Amerika. Ilmu pengetahuan sosial (hukum, ekonomi, dan lain‐lain), ilmu pengetahuan alam, dan humaniora (bahasa klasik, filsafat moderen, sejarah, dan lain‐lain) yang lazim diajarkan di perguruan tinggi di negara‐negara Barat harus diajarkan pula di perguruan tinggi Indonesia. Demikian juga ilmu pengetahuan mengenai kebudayaan timur harus mendapat perhatian khusus. Hal‐hal teknis juga diperhatikan oleh Soepomo. Menurutnya, universitas hendaknya dikepalai oleh seorang presiden tetap (full‐time), yang tidak mengajar melainkan hanya mengurus keperluan umum universitas, seperti di Amerika. Beliau juga menyatakan bahwa perguruan tinggi di Indonesia hendaknya merupakan sebuah badan hukum, yakni mempunyai rechtpersoonlijkheid. 

Pendapat senada dikemukakan pula oleh Kalapaking, yang menyatakan bahwa adanya suatu universitas sebagai gabungan berbagai fakultas merupakan suatu keharusan di negara merdeka, untuk menjadi koordinator dan pendorong dalam usaha mempelajari dan mengembangkan ilmu‐ilmu pengetahuan. Dalam makalahnya yang berjudul “Hal Universiteit”, Kalapaking juga mengusulkan agar universitas negara dibentuk sebagai badan hukum dan mempunyai kemerdekaan seluas‐luasnya dalam mengabdi terhadap ilmu pengetahuan. Kalapaking jugamengingatkan bahwa baik buruknyamutu universitasterutama tergantung pada pemilihan orang‐orang yang dijadikan guru besar. Agak berbeda dengan Soepomo, Kalapaking berpendapat bahwa dalam menyusun program tiap fakultas, universitas harus memperhatikan kebutuhan nasional, jangan semata‐mata meniru universitas di negara lain.

Sementara itu, Wedyodiningrat dalam makalahnya yang berjudul “Sekolah Tinggi” menyoroti kontribusi pendidikan pada kemakmuran dan perdamaian dunia. Menurutnya, universitas adalah tempat di mana setiap orang dapat mendiskusikan hal yang berguna bagi kehidupan dan mendapat pencerahan.


Apa Selanjutnya
Sebagai rangkuman catatan sejarah di atas, jelaslah bahwa ada tiga hal yang merupakan misi utama perguruan tinggi, yaitu: (1) mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, (2) menyiapkan calon‐calon pemimpin masyarakat dan bangsa, serta (3) memelihara dan menumbuhkan budaya dan nilai‐nilai akademik, sebagai model bagi masyarakat luas. Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, para pelaku dan pengambil kebijakan pendidikan tinggi lebih banyak berkutat dengan masalah teknis, melupakan misi sejati perguruan tinggi dan mengabaikan apa yang dicita‐citakan para pendiri bangsa. Maka terperangkaplah perguruan tinggi kita dengan status hukum dan pola pengelolaan keuangan yang bergonta‐ganti, sistem kepegawaian yang sangat adminstratif (perekrutan dosen dan pengangkatan guru besar yang asal‐asalan), proses akreditasi yang salah kaprah, program‐program hibah yang tidak efektif, orientasi pendidikan yang tidak jelas, hingga pemilihan Rektor yang hampir selalu ditunggangi kepentingan politik tertentu. Keadaan ini tentunya tidak boleh berlanjut. Wahai para pemimpin negara, kecuali tuan‐puan lupa pada amanah untuk memajukan bangsa, kembalikanlah perguruan tinggi pada khitahnya, dan fasilitasilah perguruan tinggi dalam melaksanakan misi sejatinya! Bangsa yang besar perlu ditopang perguruan tinggi bermutu!

*Guru Besar Matematika, FMIPA‐ITB, Bandung

Quo Vadis Pendidikan Tinggi Indonesia

Mungkin kita memang selalu saja menjadi bangsa yang tertinggal. Penguasaan aplikasi teknologi yang tertinggal, perkembangan sistem edukasi yang tertinggal, kemandirian dalam bidang strategis yang tak kunjung dicapai dan lain sebagainya. Namun meskipun demikian, itu semua masih bisa ditolerir. Fokus permasalahan bangsa ini memang masih berkutat pada seputar isu pembenahan birokrasi yang korup dan kacau-balau. Ini adalah sebuah langkah yang benar sebagai agenda nasional. Akan tetapi, setidaknya perguruan tinggi jangan sampai tertinggal dalam mengikuti isu-isu global dunia. Ia harus independen dari semua masalah dan harus tampil terdepan untuk memberikan solusi bagi permasalahan sebuah bangsa. Sebuah ironi sedang terjadi di negeri ini, bagaimana kalau perguruan tinggi saja sudah ketinggalan? Kepada siapa lagi kita harus berharap bangsa ini bangkit di masa depan? Bukankah perguruan tinggi juga berperan sebagai penggerak kemajuan bangsa?

Sebagai contoh yang kentara, beberapa institusi pendidikan tinggi luar negeri sudah mem-fokuskan diri pada hal-hal yang merupakan isu-isu global yang dominan dalam bidang pangan, energi, teknologi tepat guna, lingkungan hayati dan lain sebagainya. Mereka berlomba-lomba mempersiapkan riset-riset strategis untuk menghadapi permasalahan yang akan dihadapi dunia nantinya. Sebuah pertanyaan, mengapa institusi pendidikan tinggi kita tidak melakukan hal yang sama?

Nytanya, orang-orang kita masih saja disibukkan dengan tetek bengek struktur organisasi, berbagai juklak dibuat untuk mengakali visitasi akreditasi, bagian marketing perguruan tinggi masih sibuk dengan memberikan tawaran link and match lulusan perguruan tinggi kepada masyarakat. Sungguh, hal ini menjadi tidak berguna manakala perguruan tinggi ternyata tidak bisa menunjukkan jalan untuk maju ke depan. Masyarakt kita masih saja sibuk dengan dialektika yang berkisar pada kuliah-bekerja-mapan. Berbagai isu dangkal tentang sulitnya masuk perguruan tinggi negeri, sulitnya menembus perguruan tinggi tanpa uang muka tertentu. Sulitnya lulusan perguruan tinggi mendapat pekerjaan. Lebih lanjut, setelah ia masuk ke dalam lingkungan perguruan tinggi tertentu, seorang manusia malah diancam dengan berbagai kurikulum dan silabus yang terkesan hambar maka perlahan-lahan terjadilah hilangnya kemampuan berpikir logis, lalu ia menjadi robot-robot. Selepas pendidikan tinggi manusia hanya menjadi robot-robot yang mudah untuk mengikuti keadaan, di intimidasi dengan berbagai ke khawatiran yang tidak beralasan.

Cukup sudah! sampai kapan dunia perguruan tinggi kita bisa maju dengan cara seperti ini? Hentikan paradigma perguruan tinggi yang keliru, memberikan kebanggaan semu pada setiap lulusan-nya. Kebanggaan yang tidak berarti manakala tidak dapat memberikan solusi.

Majulah Kampus Indonesia!

Bandung, 21 November 2013

Senin, November 11, 2013

Korporasi Edukasi

Dinamika perkembangan dunia pendidikan tinggi di Indonesia seakan menjadi semakin liberal, apalagi dengan diberlakukannya undang-undang Badan Hukum, untuk perguruan tinggi negeri yang menyebabkan perguruan tinggi mengusahakan sendiri secara administrasi dan keuangannya. Tak pelak, mengurus perguruan tinggi tak ubahnya seperti mengurus perusahaan. Dan nantinya cara-cara perguruan tinggi beroperasi akan sama dengan perseroan terbatas. Lobi-lobi politik dilakukan, deal-deal besar dilaksanakan, mudah-mudahan saja ini tidak dikotori oleh kepentingan lain yang bersifat material belaka. Dialektika berkembang ketika perguruan tinggi harus mencari uang sendiri untuk kegiatannya, ada pro dan kontra. Mengingat dengan cara ini netralitas perguruan tinggi tidak bisa dijaga. Di sisi lain yang pro tentunya berharap pemasukan perguruan tinggi akan menurunkan biaya untuk menikmati layanan perguruan tinggi. Hal ini sah-sah saja mengingat pemasukan dari perguruan tinggi sebagian besar masih dari siswa-siswi nya. Dalam kasus dagang seperti ini hukum dagang pun berlaku, yang diperdagangkan adalah antara kualitas dengan kuantitas pemasukan dari segi materi, nah ini yang harus kita cermati bersama.

Dikabarkan dari sebuah kampus terkemuka, bahwa rapat tengah dilaksanakan antara perwakilan perguruan tinggi tersebut dengan perusahaan "M". Berkaitan dengan penanaman "saham" ke perguruan tinggi tersebut untuk mendirikan sebuah pusat riset ber bendera M. Kerjasama yang sangat strategis bagi kedua belah pihak, manakala dilihat dari sisi ekonomi. Perguruan tinggi akan mendapatkan dana segar untuk berbagai keperluan, sementara ini merupakan keuntungan jangka panjang bagi perusahaan "M", berkaitan dengan sumber daya manusia dan tentu saja kepentingan dagang nya di Indonesia.

Perundingan sudah sampai tahap akhir, MoU telah dilaksanakan, tinggal teken kontrak perjanjian saja. Tiba-tiba bapak T berdiri. Bapak T ini adalah salah satu perwakilan dari perusahaan M.

"terima kasih bapak -  bapak sekalian, saya ingin menyampaikan bahwa bos kami di kantor pusat menyatakan sangat gembira dengan kesepakatan ini yang tentunya ini membuat kita semua senang, applause untuk kita semua", katanya disambung dengan tepuk tangan hadirin.

"kami melihat ini adalah langkah yang strategis bagi masa depan pendidikan Indonesia", ia melanjutkan.

"dan, masa depan yang cerah pula bagi bisnis kami", tutupnya.


_____






 
taufik personal insight Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template